Laman

Kamis, 15 Maret 2012

Ego dalam Sangkar

Original Story by Maria Putri

Ego dalam Sangkar © Maria Putri

DON'T LIKE, DON'T READ!

oOo

Kebosanan kembali menyerangku di malam Minggu ini. Tak lagi ada yang menarik di malam musim panas kali ini.

Tahu begini seharusnya aku menerima tawaran teman-temanku saja saat mereka mengajakku jalan-jalan malam di kota Harajuku sore tadi. Pasti menyenangkan melihat para crossplayer beraksi di sepanjang jalan Harajuku, atau hanya sekadar mencuci mata dengan melihat banyak anak laki-laki yang berwajah di atas rata-rata. Yah, penyesalan selalu datang di akhir waktu, bukan?


Kini aku harus menelan kenyataan pahit akibat menolak ajakan mereka. Aku pun tidak tahu apa yang sedang dan akan kulakukan, yang jelas saat ini aku hanya memandang layar tabletku yang kuletakkan di atas bantal dengan ekspresi datar.

Sesekali aku mengerakkan jari-jariku hanya untuk sekadar menghilangkan kebosanan menatap warna yang sama yang ada di layar tablet itu.

Namun tiba-tiba gerakan jariku terhenti ketika melihat suatu tampilan dari sebuah situs jejaring sosial yang akhir-akhir ini sedang dibicarakan oleh orang banyak.

Aku terus menatap angka-angka yang ditampilkan dalam layar tablet itu sembari mengingat-ingat dan meyakinkan bahwa tidak ada satu angka pun yang menghilang ke suatu tempat.

Namun berkali-kali kulakukan hal itu, dan berkali-kali pula aku mengecek jumlah followers yang ada di daftar followers-ku, tetap saja hasilnya tak berubah dan tak bisa meyakinkanku bahwa jumlah angka itu adalah jumlah angka yang sama dengan yang terakhir kali kulihat.

Satu ... satu follower hilang! Mungkin terdengar hiperbola, tapi kenyataannya memang benar seperti itu. Kalian pun pasti tahu, kehilangan satu bahkan setengah dari satu follower itu, dan siapapun itu yang mengalaminya, pasti mereka akan melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Percaya atau tidak, mereka pasti langsung berkicau layaknya burung yang belum diberi makan dalam statusnya di setiap jejaring sosial yang dimiliki.

Tetapi jika kalian berpikir bahwa aku juga akan melakukan hal tersebut, kalian salah besar.

Aku tak peduli dengan hal merepotkan macam itu. Lagipula, aku juga tidak terlalu aktif berkelana dalam situs itu. Angka-angka yang menunjukkan followers dan friends-ku juga tak sebanyak dengan yang dimiliki oleh artis-artis terkenal dari Negeri Ginseng yang terletak di sebelah negara tempatku tinggal ini.

Mungkin awalnya aku berpikir begitu ... yah, kuakui, aku bukanlah orang yang terlalu memproklamirkan hal-hal tidak berguna seperti itu dalam status di mana pun.

Hanya saja sebagai manusia normal aku masih memiliki rasa penasaran yang membuatku ingin mengetahui siapa yang tiba-tiba melakukan tindak unfollow itu.

Sekali lagi, hiperbola.

Hei, aku juga manusia normal, jadi boleh, kan, aku melakukannya?

Beberapa kali kucek nama-nama yang terdaftar di kolom pengikutku, namun aku tidak terlalu mengingat siapa-siapa saja yang sudah menjadi followers-ku. Aku pun jadi tidak mengetahui siapa satu orang yang sudah dengan teganya meng-unfollow-ku itu.

Sekali lagi, hiperbola!

Namun tiba-tiba aku teringat salah satu nama yang mungkin saja menjadi tersangkanya. Aku sebenarnya tidak mau terlalu berharap bahwa dia adalah orangnya, tapi ternyata takdir berkata lain.

Ketika kugerakkan jariku mencari nama yang sudah muncul dalam otakku, ternyata hasilnya adalah nihil. Nama itu benar-benar tidak ada dalam daftar followers-ku.

Mungkin jika dia adalah orang yang tidak kukenal, aku akan bersikap masa bodoh tentang hal ini. Sangat disayangkan bahwa dia adalah seorang yang kukenal. Seorang yang sama-sama berjuang denganku saat kami bersekolah di sebuah High School di daerah Fukuoka.

Berbagai perasaan, pertanyaan, dan spekulasi bermunculan dalam benakku.

Tiba-tiba keegoisan muncul dalam diriku一mendorongku untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang telah ia lakukan.

Dalam sangkar yang begitu kecil dan dihuni oleh jutaan burung itu, ego secara tak sengaja mereka tanamkan dalam diri mereka. Demi meraih kepopuleran dan kemenangan dalam memperoleh angka terbesar, mereka rela membuang teman mereka sendiri.

Kalimat yang juga menohokku ini membuatku menyadarkan suatu hal akan pertemanan dan ego yang sesungguhnya.

Aku bosan dengan semua itu.

Selagi masih bisa kulakukan aku pun tak akan membuang waktuku. Kulempar tablet itu ke arah dinding di sebelah kiriku. Tanpa menatap iba pada nasib benda canggih itu, aku segera meraih benda canggih lainnya dari atas meja belajarku. Segera aku menekan tombolnya dan mencari sebuah nama yang menjadi tujuanku untuk menghilangkan kekesalan ini.

Bunyi nada sambung pun terdengar dan tak berapa lama orang di seberang sana mengangkatnya.

"Kalian di mana?" kataku, "Aku akan menyusul ke sana. Tunggu aku."

Kuraih tas kecilku dan segera kutinggalkan kamar beserta tablet membosankan itu.

Selamat tinggal kebosanan dalam sangkar kecil yang terhiaskan ego memuakkan.

oOo

FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar